ETIKA ISLAM
Masalah
kemerosotan moral dewasa ini menjadi santapan keseharian masyarakat
kita. Meski demikian tidak jelas faktor apa yang menjadi penyebabnya.
Masalah moral adalah masalah yang pertama muncul pada diri manusia,
"baik ideal maupun realita".
Secara ideal
bahwa pada ketika pertama manusia di beri "ruh" untuk pertama kalinya
dalam hidupnya, yang padanya disertakan "rasio" penimbang baik dan buruk
(QS. Assyams 7-8).
Secara
realita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, dimana individu merupakan
bagian dari masyarakat manusia, maka yang awal mula muncul dalam
kesadarannya ialah pertanyaan "What must be?"(Apa yang seharusnya), yang
lalu disusul dengan "What must I do?"(Apa yang dilakukan) pelaksanaan
"What must I do?", menanti lebih dulu jawaban "What must be?".
Pertanyaan "What must be?", ditujukan kepada kemampuan rohani pada diri
manusia yang berbentuk kategori-kategori tertentu yang tidak timbul dari
pengalaman maupun pemikiran, kemampuan ini bersifat intuitif dan
apriori. Oleh sebab itu masalah moral adalah masalah "normatif".
Di dalam
hidupnya manusia dinilai! Atau akan melakukan sesuatu karena nilai!
Nilai mana yang akan dituju tergantung kepada tingkat pengertian akan
nilai tersebut.
Pengertian
yang dimaksud adalah bahwa manusia memahami apa yang baik dan buruk
serta ia dapat mambedakan keduanya dan selanjutnya mengamalkannya.
Pengertian tentang baik buruk tidak dilalui oleh pengalaman akan tetapi
telah ada sejak pertama kali "ruh" ditiupkan. Demi jiwa serta
penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya (QS. 91: 7-8)
Pengertian
(pemahaman) baik dan buruk merupakan asasi manusia yang harus diungkap
lebih jelas, "atas dasar apa kita melakukan sesuatu amalan".
Imam Al
Ghazali menamakan pengertian apriori sebagai pengertian "awwali". Dari
mana pengertian-pengertian tersebut diperoleh, sebagaimana ucapannya:
Pikiran
menjadi sehat dan berkeseimbangan kembali dan dengan aman dan yakin
dapat ia menerima kembali segala pengertian-pengertian awwali dari akal
itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun
keterangan, melainkan dengan Nur (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke
dalam batin dari ilmu ma'rifat1).
Di sini, Al
Ghazali mengembalikannya ke dasar pengertian awwali yaitu pengertian
Ilahyah. Sedang Plato menyebutnya "idea". Ia mengungkapkan bahwa "idea"
hakekatnya sudah ada, tinggal manusia mencarinya dengan cara menenangkan
pikiran atau disebut mencari inspirasi bagi seniman. Jelasnya "idea"
bukan timbul dari pengalaman atau ciptaan pikiran sehingga menghasilkan
"ide".
Kesadaran
tentang keberlangsungan ide yang sejak awal ruh ditiupkan, menyebabkan
Allah dalam firman-firmanNya menghendaki manusia masuk pada posisi
asasinya yang disebut "idul fitri", yaitu kembali kepada "kesejatian
diri". Sebab kesejatian inilah yang bisa dipertanggung-jawabkan
kebenaran sikapnya karena perilaku yang keluar bersandar pada kejernihan
fitrah. Maka sesungguhnya fitrah itu sejalan dengan kehendak Allah
(fitrah Allah), yang disebut dalam Al Qur'an:
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas)
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS. Arrum: 30).
Pada dasarnya
fitrah manusia itu suci, akan tetapi proses penerimaan ide (ilham)
tersebut, terkadang menjadi tidak murni disebabkan kekotoran jiwa yang
diliputi nafsu syahwat. Dalam hal ini Allah berfirman:
"Dan demi
jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu Dan merugilah orang yang mengotorinya." (QS
Asysyams 7-8).
Betapa
bahayanya ilham-ilham tersebut bila diterima oleh jiwa yang kotor, sebab
pengetahuan-pengetahuan itu akan digunakan untuk bagaimana mencuri,
korupsi, menipu dan merusak alam semesta. Tetapi alangkah indahnya jika
ilham-ilham tersebut diterima oleh jiwa yang tenang dan bersih yang akan
menimbulkan kemaslahatan bagi dirinya maupun alam semesta. Maka dari
sini dapat dimengerti, walau seseorang sudah memiliki pengertian "baik
buruk secara apriori", bukan berarti ia telah tahu secara mutlak, namun
pengertiannya masih bersifat relatif dan hal itu akan lebih jelas jika
disinari oleh wahyu ketuhanan. Sebab ia tidak akan mampu menelusuri
secara intelektual tanpa adanya "daya spiritual" dalam menerima ide yang
sesuai dengan Fitrah Allah. Sebaliknya kalau dibiarkan jiwa kita diam,
terbelenggu oleh keinginan syahwat, maka apa yang diperoleh oleh jiwa
berupa ide ilmu pengetahuan akan digunakan sesuai dengan kepentingan
syahwatnya.
Kembali
kepada masalah "nilai". Seseorang pasti akan dinilai atau pasti akan
melakukan sesuatu karena nilai, dan jika "nilai" masih bersifat relatif,
maka nilai tersebut akan tergantung kepada dasar yang ia pakai. Bisa
jadi, mencuri itu mendapat nilai kebajikan apabila perilaku tersebut
didasari oleh hukum-hukum tentang permalingan, juga sekularisme,
hedonisme, komunisme dan ateisme, dasar-dasar inilah yang akan menilai
perilaku itu baik atau buruk.
Begitupun
tata nilai ketuhanan (Islam), setiap "perilaku" Islam sangat menekankan
orientasi niat yang kuat, menyandarkan peribadatannya didasari konsep
"Lillahi ta'ala". Pendasaran kepada setiap "laku" manusia, mengandung
tuntutan kesadaran, bukan paksaan!! Perilaku seseorang tersebut baru
bisa dikatakan mempunyai nilai. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya” (Hadist riwayat Bukhari Muslim).
Dalam hadist
tersebut jelas, setiap perilaku mempunyai dasar (niat), sehingga
perbuatannya dikategorikan baik atau buruk dimana ia menggantungkan
niatnya.
Suatu riwayat, ketika Rasulullah Hijrah ke Madinah, diungkapkan masalah "niat".
"Maka
barang siapa hijrahnya didasari (niat) karena Allah dan Rasulullah maka
hijrahnya akan sampai diterima oleh Allah dan Rasulullah. Dan barang
siapa hijrahnya didasari (niat) karena kekayaan dunia yang akan didapat
atau karena perempuan yang akan dikawin, maka hijrahnya terhenti
(tertolak) pada apa yang ia hijrah kepadanya". (Al Hadits)
Di sini
sangat penting kesadaran akan "niat" untuk memperjelas perbedaan mana
yang baik menurut nafsu, dan baik menurut Allah. Perilaku yang lalai
atau tidak karena Allah seperti dalam shalat, maka nilai kelurusan
shalat yang terhalang oleh pikiran yang tidak khusyu' akan berakibat
pada rusaknya nilai ibadah shalat. Seperti yang termaktub alam Al
Qur'an:
"Maka celakalah bagi yang melakukan shalat karena"niat"-nya (lalai) terhambat oleh ingin dilihat orang lain." 1)
Perbuatan
macam ini tidak bisa dikatakan sebagai "Dien". Sebab agama mempunyai
satu dasar penilaian yang sangat sempurna yakni; Islam, Iman, dan Ihsan.
Etika pada umumnya menentukan "sadar bebas" sebagai obyeknya, dan
ternyata hal ini hanya melihat dari segi lahiriah perbuatan.
Setia dan
bertingkah baik an-sich tanpa memperhitungkan syarat lain, memang dapat
digolongkan ke dalam "kebajikan". Namun belum tentu dikategorikan dalam
kebajikan jika ditinjau lebih jauh pada kondisi-kondisi lain, yakni pada
apa perbuatan itu bersangkut paut atau apa yang melatari perbuatan
tersebut. Misalnya: Si Abdullah memberikan sedekah kepada fakir miskin.
Ketika terjadi tindakan tersebut terdapat:
- Subjek yang berbuat, yaitu "Abdullah".
- Objek yang diperbuat, yaitu Abdullah melakukan "sedekah".
- Objek yang terkena perbuatan, yaitu sedekah diberikan kepada fakir miskin.
- Objek yang dipergunakan, yaitu niat karena apa (bisa karena ingin dilihat orang, karena Allah dll).
Pada
faktor-faktor inilah disamping "niat" batin, Islam meletakkan nilai
syarat yang ikut mengambil bagian dalam menilai suatu perbuatan sebagai
tindakan etis. Tegas sekali Islam mewajibkan "niat karena Allah" sebagai
tanggung jawab penghambaan kepada Kholiqnya.
Tanggung
jawab Islam dalam syariat (etika ketuhanan) selalu mengandung kedalaman
dimensi yang tidak saja tindakan fisik sebagai objek nilai, juga di
dalamnya nilai psikologis merupakan tindakan etis yang secara naluriah,
mengembalikan kepada Fitrah Allah. Dalam tahapan ini manusia sampai
kepada tahapan tertinggi yang dalam tindakannya sesuai dengan kehendak
Allah (Fitrah Allah), diharapkan setiap perilaku (ibadah) sampai kepada
syarat; islam, iman dan ihsan. Karena akan dikatakan (dinilai) sebagai
agama apabila meliputi ketiga kriteria tersebut.
Dalam Hadist riwayat Bukhori dan Muslim disebutkan:
Artinya:
sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi dalam bentuk seorang Arab
Badui, lalu ia bertanya kepadanya tentang islam, maka Nabi menjawab,
"Islam itu, ialah hendaknya engkau bersaksi sesungguhnya tidak ada tuhan
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, engkau keluarkan zakat, engkau puasa bulan Ramadhan
dan engkau pergi haji ke Baitullah jika engkau mampu pergu ke sana. Lalu
Jibril bertanya apakah Iman itu? Nabi menjawab, "Yaitu hendaknya engkau
beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya,
kepada para Utusan-Nya, bangkit dari kubur sesudah mati, dan hendaknya
engkau beriman kepada takdir tentang takdir baik dan buruknya. Jibril
bertanya lagi, apakah ihsan itu? Nabi menjawab, yaitu hendaknya engkau
menyembah Allah yang seolah-olah engkau melihat Allah, sekalipun engkau
tidak bisa melihat-Nya tetapi Ia bisa melihat engkau. Kemudian dalam
akhir Hadist itu dikatakan Rasulullah saw bersabda (kepada para
sahabatnya): Dia itu Jibril, Ia datang kepadamu untuk mengajarkan
tentang agamamu.
Hal ini seluruhnya termasuk agama, dan agama (dien) itu sendiri berarti khudhu' (tunduk) dan dzull (merendah) seperti perkataan:
"Ku tundukkan dia, maka ia tunduk"
yakni: beribadah kepada Allah dan taat kepada-Nya serta merendahkan diri kepada-Nya.
Agama meliputi:
Islam: berupa syariat Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa, haji).
Iman : kepercayaan, keyakinan, transendental.
Ihsan: kekuatan psikologis dimana ia mengaitkan nilai perilakunya karena Allah.
Maka setiap
peribadatan, apakah itu shalat, zakat, puasa akan terasa sia-sia apabila
dilakukan tanpa dibarengi dengan tunduk dan patuh serta merasakan
adanya sikap "ihsan" (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu
melihat-Nya sesungguhnya Ia melihat kalian). Hal inilah yang selalu
menjadi permasalahan pokok dan mensosialisasi sebagai kebiasaan buruk
yang tidak lagi menjadi masalah, padahal kita bertahun-tahun melakukan
peribadatan tidak mendapatkan apa-apa kecuali capek dan sia-sia. Ihsan
adalah kontak batin dan dialogis, responsif. Ihsan adalah roh setiap
peribadatan, dan menentukan diterima tidaknya peribadatan. Sikap ini
pula yang menjadikan ihsan itu rukun agama, yang apabila ditinggalkan
salah satu rukun agama, maka batallah sebagai agama. Permasalahan rukun
agama ini telah dihukumkan dan disyaratkan kepada orang yang sampai
baligh. Sebagaimana Hadist Rasulullah:
"Hukum
tidak berlaku bagi tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak
kecil sampai mimpi basah, dan orang gila sampai sembuh" (Abu Dawud, Ibnu Majah dan Annasay, hadist sohih).
Selanjutnya
Islam mengajarkan bahwa seorang muslim yang beramal kebajikan, tetapi
tujuannya bukan Lillahi ta'ala tidak mungkin diterima amalnya,
sebagaimana firman Allah:
"Kami menurunkan kitab ini kepada engkau dengan sebenarnya, sebab itu sembahlah Allah seraya mengihklaskan agama bagi-Nya saja" (Q.s. Az-zumar: 2).
Nash tersebut
di atas merupakan kesimpulan dari tujuan etika Islam, yaitu
mengembalikan kepada posisi fitrah manusia, yang dengan kesadaran itu,
maka ia akan menjadi manusia paripurna dan ia akan berakhlaq sebagaimana
akhlaq Allah, dengan kecenderungan berbuat baik tanpa beban dan
paksaan.
Untuk itu
kecenderungan berbuat baik akan terjadi apabila kita mampu berusaha
membersihkan jiwa. Dan kebersihan jiwa akan didapat apabila kita
melaksanakan peribadatan sesuai dengan kriteria-kriteria pada penjelasan
di atas.
Karakteristik Etika Islami
Etika adalah
sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu
masyarakat tertentu. Moral adalah secara etimologis berarti adat
kebiasaan,susila. Jadi moral adalah perilaku yang sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan
sosial/lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang menentukan
batas antara baik dan buruk tentang perkataan/perbuatan manusia lahir
dan batin.
Didalam
islam, etika yang diajarkan dalam islam berbeda dengan etika filsafat.
Etika Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
- Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits yang shohih.
- Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
- Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan mulia serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia
D. Karakteristik Etika Islam
Etika adalah
sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu
masyarakat tertentu. Moral adalah secara etimologis berarti adat
kebiasaan,susila. Jadi moral adalah perilaku yang sesuai dengan
ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan
sosial/lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang menentukan
batas antara baik dan buruk tentang perkataan/perbuatan manusia lahir
dan batin.
Didalam
islam, etika yang diajarkan dalam islam berbeda dengan etika filsafat.
Etika Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
- Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits yang shohih.
- Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
- Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan mulia serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia
Etika bisnis Islami
Etika
memiliki dua pengertian: Pertama, etika sebagaimana moralitas, berisikan
nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup
manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis
dan rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat
dipertanggung-jawabkan. Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004:
56), sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan
penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh
profit.
penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebaginya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati.
Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:188, 4:29).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal.
Fathanah
berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang
menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas
dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Amanah,
tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah
ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan
ihsan (kebajikan) dalam segala hal.
Tablig,
mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong.
Pelaku usaha/pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong.
Pelaku usaha/pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar